Minggu, 07 September 2008

Shalat Tarawih dan Jumlah Raka’atnya

Shalat Tarawih dan Jumlah Raka’atnya
02/09/2008

Shalat Tarawih hukumnya sangat disunnahkan (sunnah muakkadah), lebih utama berjama'ah. Demikian pendapat masyhur yang disampaikann oleh para sahabat dan ulama.

Ada beberapa pendapat tentang raka’at shalat Tarawih; ada pendapat yang mengatakan bahwa shalat tarawih ini tidak ada batasan bilangannya, yaitu boleh dikerjakan dengan 20 (dua puluh) raka'at, 8 (delapan), atau 36 (tiga puluh enam) raka'at; ada pula yang mengatakan 8 raka’at; 20 raka’at; dan ada pula yang mengatakan 36 raka’at.

Pangkal perbedaan awal dalam masalah jumlah raka’at shalat Tarawih adalah pada sebuah pertanyaan mendasar. Yaitu apakah shalat Tarawih itu sama dengan shalat malam atau keduanya adalah jenis shalat sendiri-sendiri? Mereka yang menganggap keduanya adalah sama, biasanya akan mengatakan bahwa jumlah bilangan shalat Tawarih dan Witir itu 11 raka’at.

Dalam wacana mereka, di malam-malam Ramadhan, namanya menjadi Tarawih dan di luar malam-malam Ramadhan namanya menjadi shalat malam / qiyamullail. Dasar mereka adalah hadits Nabi SAW:


عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِيْ رَمَضَانَ وَلاَغَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً. رواه النسائي


”Dari Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menambah di dalam ramadhan dan di luar Ramadhan dari 11 rakaat”. (HR. Al-Bukhari)

Sedangkan mereka yang membedakan antara keduanya (shalat malam dan shalat tarawih), akan cenderung mengatakan bahwa shalat Tarawih itu menjadi 36 raka’at karena mengikuti ijtihad Khalifah Umar bin ’Abdul Aziz yang ingin menyamai pahala shalat Tarawih Ahli Makkah yang menyelingi setiap empat raka’at dengan ibadah Thawaf.

Lalu Umar bin ’Abdul Aziz menambah raka’at shalat Tarawih menjadi 36 raka’at bagi orang di luar kota Makkah agar menyamahi pahala Tarawih ahli makkah; Atau shalat Tarawih 20 raka’at dan Witir 3 raka’at menjadi 23 raka’at. Sebab 11 rakaat itu adalah jumlah bilangan rakaat shalat malamnya Rasulullah saw bersama sahabat dan setelah itu Beliau menyempurnakan shalat malam di rumahnya. Sebagaimana Hadits Nabi SAW.:


أَنَّهُ صلّى الله عليه وسلّم خَرَجَ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ لَيَالِيْ مِنْ رَمَضَانَ وَهِيَ ثَلاَثُ مُتَفَرِّّقَةٍ: لَيْلَةُ الثَالِثِ, وَالخَامِسِ, وَالسَّابِعِ وَالعِشْرِيْنَ, وَصَلَّى فِيْ المَسْجِدِ, وَصَلَّّى النَّاسُ بِصَلاَتِهِ فِيْهَا, وَكَانَ يُصَلِّّْي بِهِمْ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ, وَيُكَمِّلُوْنَ بَاقِيْهَا فِيْ بُيُوْتِهِمْ. رواه الشيخان


“Rasulullah SAW keluar untuk shalat malam di bulan Ramadlan sebanyak tiga tahap: malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh untuk shalat bersama umat di masjid, Rasulullah saw. shalat delapan raka’at, dan kemudian mereka menyempurnakan sisa shalatnya di rumah masing-masing. (HR Bukhari dan Muslim).

Sedangkan menurut ulama lain yang mendukung jumlah 20 raka’at, jumlah 11 raka’at yang dilakukan oleh Rasulullah SAW tidak bisa dijadikan dasar tentang jumlah raka’at shalat Tarawih. Karena shalat Tarawih tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw kecuali hanya 2 atau 3 kali saja. Dan itu pun dilakukan di masjid, bukan di rumah.

Bagaimana mungkin Aisyah RA meriwayatkan hadits tentang shalat Tarawih Nabi SAW? Lagi pula, istilah shalat Tarawih juga belum dikenal di masa Nabi SAW. Shalat tarawih bermula pada masa Umar bin Khattab RA karena pada bulan Ramadlan orang berbeda-beda, sebagian ada yang shalat dan ada yang tidak shalat, maka Umar menyuruh agar umat Islam berjamaah di masjid dengan imamnya Ubay bin Ka'b.

Itulah yang kemudian populer dengan sebutan shalat tarawih, artinya istirahat, karena mereka melakukan istirahat setiap selesai melakukan shalat 4 raka’at dengan dua salam. Dan Umar RA. berkata: "Inilah sebaik-baik bid’ah".

Bagi para ulama pendukung shalat Tarawih 20 raka’at+witir 3= 23, apa yang disebutkan oleh Aisyah bukanlah jumlah raka’at shalat Tarawih melainkan shalat malam (qiyamullail) yang dilakukan di dalam rumah beliau sendiri. Apalagi dalam riwayat yang lain, hadits itu secara tegas menyebutkan bahwa itu adalah jumlah raka’at shalat malam Nabi SAW., baik di dalam bulan Ramadhan dan juga di luar bulan Ramadhan.

Ijtihad Umar bin Khoththab RA tidak mungkin mengada-ada tanpa ada dasar pijakan pendapat dari Rasulullah saw, karena para sahabat semuanya sepakat dan mengerjakan 20 raka’at (ijma’ ash-shahabat as-sukuti).

Di samping itu, Rasulullah menegaskan bahwa Posisi Sahabat Nabi SAW sangat agung yang harus diikuti oleh umat Islam sebagaimana dalam Hadits Nabi SAW:


فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّّتِيْ, وَسُنَّةِ الخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ


"Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa' al-Rasyidun sesudah aku ". (Musnad Ahmad bin Hanbal).

Ulama Syafi’ayah, di antaranya Imam Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menyimpulkan bahwa shalat Tarawhi hukumnya sunnah yang jumlahnya 20 raka’at:


وَصَلاَةُ التَّرَاوِيْحِ سنة مُؤَكَّدَةٌ وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً بِعَشْرِ تَسْلِيْماَتٍ فِيْ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ لِخَبَرٍ مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَيَجِبُ التَّسْلِيْمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَلَوْ صَلَّى أَرْبَعًا مِنْهَا بِتَسْلِيْمَةٍ لَمْ تَصِحَّ .


“Shalat Tarawih hukumnya sunnah, 20- raka’at dan 10 salam pada setiap malam di bulan Ramadlan. Karena ada hadits: Barangsiapa Melaksanakan (shalat Tarawih) di malam Ramadlan dengan iman dan mengharap pahala, maka dosanya yang terdahullu diampuni. Setiap dua raka’at haru salam. Jika shalat Tarawih 4 raka’at dengan satu kali salam maka hukumnya tidak sah……”. (Zainuddin al Malibari, Fathul Mu’in, Bairut: Dar al Fikr, juz I, h. 360).

Pada kesimpilannya, bahwa pendapat yang unggul tentang jumlah raka’at shalat tarawih adalah 20 raka’at + raka’at witir jumlahnya 23 raka’at. Akan tetapi jika ada yang melaksanakan shalat tarawih 8 raka’at + 3 withir jumlahnya 11 raka’at tidak berarti menyalahi Islam. Sebab perbedaan ini hanya masalah furu’iyyah bukan masalah aqidah tidak perla dipertentangkan. Wallahu a’lam bi al-shawab.



HM Cholil Nafis MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU

Tidak ada komentar: